Kenali Tantangan Usaha Ternak Lele Sebelum Memulainya

Posted on

Kenali Tantangan Usaha Ternak Lele Sebelum Memulainya

 

Perusahaan menghadapi beberapa tantangan nyata dalam akuakultur, mulai dari rendahnya produktivitas, sumber daya manusia, dan pasar. Ada  faktor penting dalam register cabang akuakultur yang mempengaruhi operasional perusahaan. Dari unsur benih, pemulia hingga penyebar; komponen pakan; episode pembeli ikan; dan kemudian elemen penanganan.

 

Dan saat kami melanjutkan dengan masalah bisnis, keempat elemen ini tidak terpisah dari dua bagian bisnis. Yaitu biaya produksi (production cost) dan pendapatan (sales). Hubungan antara faktor-faktor tersebut merupakan faktor penting yang menentukan arah industri perikanan budidaya dari hulu ke hilir. Memang, hubungan ini masih menghadapi banyak tantangan. Terutama pada ikan air tawar seperti lele, lele dan gurami.

 

Tantangan Budidaya

Operator pertanian menghadapi beberapa tantangan nyata. Pertama, rendahnya produktivitas pembudidaya, terutama pembesaran. Misalnya, seorang pembudidaya baru menghasilkan rata-rata 15-20 kg/m3 dan maksimal 20-30 kg/m3. Produktivitas masih bisa ditingkatkan hingga 100 kg/m3. Bandingkan dengan India yang produktivitasnya bisa mencapai 150 kg/m3.

 

Tingginya produktivitas yang dapat diperoleh tentunya berkaitan dengan daya dukung lingkungan, seperti konsumsi oksigen, nutrisi dan pengelolaan amonia. Serta kemampuan sumber daya manusia (SDM) untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Terkait dengan sumber daya manusia ini, ia melangkah ke tantangan lain. Sumber daya manusia lokal masih non-teknis, non-manajemen oriented. Secara umum sumber daya manusia lebih bersifat tradisional, karena diyakini ikan dipelihara di tambak dan berkembang biak.

 

Kelemahan dari sisi kewirausahaan sumber daya manusia ini menjadi tantangan tersendiri. Pada umumnya pekebun tidak memiliki skala usaha yang jelas, kebanyakan masih kecil. Dan jiwa wirausaha masih hilang, itu terlihat dalam segala hal mulai dari cara budidaya ikan, penjualan, pengemasan yang masih dianggap tepat, hingga pengelolaan usaha yang rapi, yang belum diperhatikan.

 

Sebagai contoh, banyak ditemukan tambak yang biasanya masih berada di persawahan dan sering dirawat di bawah “toilet” atau kandang. Itu harus kuno. Sekarang tidak bisa menjual ikan di sana, orang tidak mau memakannya karena rasanya tidak enak. Belum lagi risiko penyakit dan kesehatan serta produktivitas tambak ini belum terukur dengan jelas. Jadi intervensi harus didasarkan pada teknologi dan alat ukur yang jelas.

 

Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah bentuk kolam dan sistem budidayanya, bukan dengan meletakkannya di bawah jamban. Gunakan teknologi dan praktik pertanian yang lebih marketable agar tidak berbau lumpur. Dikemas, diproses dan disajikan, tidak lagi dalam bentuk mentah untuk menjangkau pusat perbelanjaan dan hotel.

 

Pemerintah juga dapat berperan penting di sana, mengedukasi konsumen melalui pengemasan dan promosi penjualan bahwa lele bukanlah citra yang buruk. Pemerintah perlu lebih gigih karena ada pusat penelitian yang bisa berperan besar di bidang teknologi dan tidak hanya mengandalkan demonstrasi eksperimental. Sehingga ikan impor tidak menggantikannya yang lebih menarik di mata konsumen.

 

Tantangan ketiga adalah pasar. Di Indonesia, pasar ikan bukan untuk memperebutkan ikan, melainkan produk lain seperti telur, daging, dan ayam. Misalnya, orang pergi ke pasar untuk membawa uang, melihat telur lebih murah daripada satu kilo ikan lele, tentu mereka memilih telur. Belum lagi pada hari besar atau festival orang tidak mencari ikan tetapi daging atau ayam. Jarang ada ikan lele saat ini.

 

Kondisi pasar juga tidak dapat dipisahkan dari sistem perdagangan. Sulit untuk memperluas rantai ritel karena keuntungan petani sudah sangat rendah. Sistem perdagangan saat ini masih belum layak bagi petani.

 

Misalnya, pakan menyumbang 70-80% dari biaya produksi. Harga pakan pabrik khususnya lele bisa Rp. 9 ribu – Rp. 10 ribu per kilo. Tingginya harga pakan produsen ini karena produsen mengeluarkan biaya tambahan yang tinggi. Seperti biaya promosi, sponsorship, donasi dan biaya tidak kena pajak lainnya. Oleh karena itu, biaya ini dibebankan pada harga pakan.

 

Petani membayar mahal untuk pakan dan tanpa biaya lain seperti benih, probiotik dan sebagainya, dihitung sekitar Rp. 2 ribu per kilo. Hingga harga pokok produksi (HPP) bisa mencapai Rp 12 ribu – Rp 13 ribu/kg. Harga pasaran biasanya Rp 15rb – Rp 16rb/kg. Keuntungan Rp 2 ribu/kg, tanpa kematian dan resiko lainnya.

 

Tenakan Biaya

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menekan biaya produksi dan meningkatkan penjualan? Jika ditelusuri, variabel terbesarnya adalah pakan sehingga harus dilakukan upaya penurunan harga pakan. Dengan kata lain, di satu sisi dengan diam-diam menurunkan biaya, membuat pabrik pakan menjadi mahal.

 

Sisi lainnya adalah menekan biaya produksi petani dengan membuat pakan sendiri. Misalnya, di kampung lele Kampar, Riau dan Lampung Selatan, mereka bisa menyiapkan pakan sendiri seharga Rp. 5 ribu – Rp. 6 ribu per kilo. Jika ditambah biaya produksi sebesar Rp. 2 ribu – Rp. 3 ribu per kilo, total biaya produksi hanya sekitar Rp. 8 ribu – Rp. 9 ribu per kilo. Petani menghemat minimal Rp2 ribu/kg dibandingkan menggunakan pakan pabrik.

 

Namun, pemberian makan mandiri juga memiliki tantangan. Apalagi jika bukan bahan baku. Program pakan mandiri pemerintah memang sudah indah, namun akan lebih indah lagi jika peran pemerintah benar-benar fokus dan memiliki tekad yang kuat. Berusaha kuat dalam hal bahan baku, mendirikan pabrik terpisah untuk bahan baku ini. Tidak perlu mensubsidi pakan di sana-sini, solusinya menawarkan bahan pakan seperti tepung ikan untuk membantu petani. Jadi harga tepung ikannya murah.

 

Solusi lain, berintegrasi tepat dengan unit pengolahan ikan. Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau peternak yang ditunjuk untuk mengolah limbah menjadi bahan pakan. Tidak perlu skala besar, cukup skala rumah tangga saja yang bisa menentukan harga pakan sekitar Rp. 6 ribu per kilo.

 

Taniaga Lele

Setelah biaya, itu juga terkait dengan pemasaran. Jika pasar masih bergantung pada pialang, perdagangan ini tidak boleh lagi dipotong oleh pialang. Sementara ikan dapat menguasai pasar, makelar menguasai pasar. Dan calo ini terhubung, diambil dari petani baru dan dibuang ke pasar. Jadi orang yang paling banyak mendapat untung adalah pialang.

 

Namun, sistem arbitrase ini sudah ada sejak lama dan tidak menjadi masalah selama ini. Namun, sistem penangkapan ikan tidak dapat ditingkatkan ke skala industri. Tidak berkembang.

 

Sebab, pada kenyataannya skala industri membutuhkan produksi yang besar, pengemasan yang baik, agar lebih banyak peminat dan ekspor dapat ditargetkan. Dalam kondisi pasar seperti itu, sangat sulit.

 

Penjualan harus berhubungan langsung dengan pasar akhir. Dari produsen harus mengalir langsung ke restoran, katering, industri, dll, tidak ada biaya di antaranya. Di mana wasit bermain?

 

Sebagai contoh yang bisa dilakukan, petani yang memiliki tempat penangkapan ikan tidak boleh menjualnya ke tengkulak. Tapi pembelinya sudah ada, entah itu pasar atau pabrik pengolahan. Jadi dari awal harga dinegosiasikan.

 

Hitung saja harga lele di pasaran bisa Rp. 24 ribu per kilo, itu depresiasi, pembayaran, sewa pasar dan sebagainya, jika bisa dipotong, petani akan puas. Jika harga pasar adalah ISK. 16 ribu per kilo, kontrak breeder untuk ISK. 18 ribu per kilo juga senang.

 

Meski berjualan di warung-warung pasar, petani biasanya mengeluarkan biaya distribusi dan transportasi. Namun setidaknya biaya tersebut sudah termasuk dalam biaya produksi petani sendiri, tidak dimainkan oleh tengkulak. Setidaknya rantai ini bisa dipotong dengan seorang pembudidaya. Karena menjual langsung ke pasar akhir.

 

Lebih baik lagi jika “saling menjaga” ini dimulai dengan penyemaian. Jadi ada kontrak untuk tanaman di awal dengan kenaikan harga benih, yang sudah kontrak harga dengan pasar untuk kenaikan. Agar mereka tidak bingung lagi saat banjir panen datang, para petani akan membuat para pembeli pingsan. Pas ketemu harganya turun, percuma.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *